Hampir semua orang pasti pernah menghadapi situasi yang menantang,
frustasi, kekecewaan, kesulitan, dan kegagalan dalam hidupnya. Setiap orang
punya cara masing-masing dalam menghadapi hal tersebut. Sebagian orang terjebak
dalam keterpurukan dan meratapi kegagalan, namun sebagian yang lain memilih
untuk bangkit, beradaptasi, dan berusaha untuk menciptakan kembali kondisi yang
menyenangkan.
Kemampuan adaptasi dan reaksi seseorang terhadap tantangan didasarkan pada
sumber daya psikologis, salah satunya adalah resiliensi. Menurut Ledesma (2014),
resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, frustrasi,
dan kemalangan. Seseorang dengan kemampuan resiliensi yang bagus, tidak mudah
putus asa, selalu positive thingking,
memiliki kematangan emosi, dapat berinteraksi baik dengan orang lain, dan mampu
mengelola resiko secara mandiri.
Perubahan jaman dengan segala kondisinya
selalu membawa konsekuensi, baik positif maupun negatif. Demikian pula dengan
generasi yang tumbuh di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital seperti saat
ini. Tanpa sadar hal ini sangat mempengaruhi resiliensi mereka. Terbiasa dengan kondisi yang serba cepat, generasi sekarang pun
mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan segala macam hal yang diinginkan
secara langsung. Tidak mau repot, lelah, dan ingin semuanya serba cepat tanpa
mempedulikan bahwa segala sesuatu itu perlu proses dan butuh waktu.
Contoh resiliensi rendah pada
anak usia dini yang sering kita temui yaitu minimnya keinginan memperbaiki
mainan yang rusak. Biasanya dengan segera mereka akan meminta membeli mainan
baru. Tidak jauh berbeda pada kehidupan para remaja. Mereka sangat tergantung
pada keadaan yang serba mudah ini, dan menjadi sangat manja terhadap teknologi.
Sebagian remaja terbiasa menerima mentah-mentah informasi yang didapat tanpa
diolah dan dibuat solusi baru yang kreatif. Remaja seperti ini akan bermental
instan, sulit menghadapi tantangan dan permasalahan. Sebagai contoh, dalam
pembuatan makalah. Kemudahan mengakses informasi menyebabkan pengerjaan tugas
terkesan asal jadi. Dengan membuka Google, kemudian mengetik apa yang ingin
dicari, lalu copy-paste dari sumber mana pun dan tugas
selesai.
Menurut Socrates dalam Bloom
(1991), “Then the man who’s going to be a
fine and good guardian of the city for us will in nature be philosophic,
spirited, swift, and strong”. Kriteria seorang pemimpin yang baik antara
lain bersemangat, cepat, dan kuat. Pertanyaannya, bagaimana generasi ini akan
membangun Indonesia menjadi negara yang tangguh jika mereka tumbuh dan
dibesarkan dalam dunia yang serba instan? Minim proses dan perjuangan? Jarang
bergerak dan berkeringat? Kurang tantangan dan tekanan? Sanggupkah?
Menurut Wulandari (2020), ada dua alasan mengapa resiliensi
semakin dibutuhkan seiring perubahan jaman yaitu, (1) karena gaya hidup dan
pola perilaku individu di masyarakat terus berubah, menghadirkan berbagai
tantangan yang berbeda dan semakin kompleks dalam interaksi sosial; dan karena
itu jugalah (2) stressors dan adversity dalam lingkungan tumbuh
kembang anak pun menjadi semakin beragam.
Menumbuhkan resiliensi anak di tengah perkembangan jaman yang
begitu pesat, merupakan tantangan berat para orang tua. Orangtua sebagai
pendamping utama tumbuh kembang anak memiliki peran besar dalam menumbuhkan
resiliensi melalui pengasuhannya sehari-hari. Pola pengasuhan dan lingkungan
tumbuh kembang yang positif sangat diperlukan dalam proses belajar anak untuk
menjadi individu resilien, termasuk di dalamnya menyediakan contoh-contoh baik
yang setiap saat dapat diakses oleh anak sebagai rujukannya dalam berperilaku.
Bila tidak diarahkan secara benar, masa depan para
generasi muda bisa terancam. Tantangan persaingan antara mereka cukup tinggi. Mereka
dituntut untuk memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk itu, bekal pengetahuan
dan jiwa kreativitas harus mutlak ditanamkan pada generasi milenial tersebut.
Di masa depan, Indonesia sangat membutuhkan individu-individu yang kreatif.
Tentu saja, pendidikan yang mengedepankan kretivitas butuh proses, tidak bisa
instan. Harus dimulai sejak dini, dan memerlukan pembiasaan yang konsisten.
Pengembangan karakter
resiliensi adalah sebuah perjalanan individu anak, namun tetap membutuhkan pendampingan
keluarga untuk menuntun mereka melalui perjalanan mencapai ketangguhan. Saat
anak mengalami masa sulit dan dia memiliki orang dewasa yang bisa membantunya,
tentu akan memperkuat ketahanan dan ketangguhannya dalam menghadapi masalah. Semangat
resiliensi ini harus dimiliki setiap keluarga untuk membentuk generasi-generasi
tangguh dan menjadi landasan untuk
membangun negara yang tangguh.
Ketangguhan,
kemauan dan tekad yang kuat dari para generasi muda akan menentukan ke mana arah Indonesia di masa
depan. Generasi muda bangsa Indonesia harus memiliki kualitas yang prima
sehingga dapat menjadi harapan untuk menatap optimisme Indonesia menjadi negara
yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Penulis
NIKMATIL HASANAH