Seorang remaja berjalan memasuki
rumah berwarna cream, dengan seragam lusuh dan tas yang digendongnya. Dia Adinda Mahira gadis desa dengan keinginan besar. Adinda tinggal bersama
Bibinya karena, Ayah dan Ibunya meninggal satu tahun yang lalu, pada saat
bencana banjir. Dari semua keluarganya hanya Ia dan Bibinya yang selamat.
“Assalamualaikum, Bi,” sapanya saat
netranya menemukan Bibi sedang menyiapkan makanan di meja makan.
“Waalaikumsalam, ayo makan, Din,”
ajak Bibi sambil menarik kursi.
Setelah selesai makan, Dinda membawa
piring kotor keduanya ke belakang untuk dicuci. Setelah selesai mencucinya, Ia
kembali duduk bersama Bibinya di meja makan.
“Oh iya, Bibi sudah tanda tangan di
kertas yang Dinda kasih waktu itu?” Tanya Dinda.
Bibi menghela napas kasar. “Buat apa
sih kamu ikut kayak gitu, kan Bibi sudah bilang kamu gak perlu ikut hal seperti
itu,” Bentaknya.
“Tapi, kan sayang kalau tidak
diambil,” ujarnya dengan nada kecewa.
“Kamu kan bisa setelah lulus
langsung cari kerja, lagian ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya juga
di dapur. Orang sini mana ada yang sekolah tinggi, kita itu di desa, Din. Jadi,
gak perlu tinggi-tinggi yang penting itu, bisa makan.” Bibi beranjak dari
tempatnya.
Dinda duduk di kursi panjang, depan
rumahnya. Menikmati matahari sore yang mulai tenggelam. Tiba-tiba, Ia merasakan
tepukan di bahunya.
Dinda mendongak, lalu, tersenyum
dan menggeser duduknya. “Ini,” kata Bibi sambil menyodorkan selembar kertas
yang sudah ada tanda tangannya. Sedangkan, Dinda bergeming memandang kertas
yang disodorkan Bibinya.
“Ini, ambil,” ujar Bibi karena,
tidak ada pergerakan dari, Dinda.
Dinda membuka suara, “Tapi, Bi...”
Bibi menggeleng dan tersenyum. “Bibi
minta maaf ya, tadi sempat bentak-bentak, Dinda. Bibi juga udah berubah
pikiran. Bibi Cuma takut dinda kenapa-napa di kota orang tanpa Bibi.”
Dinda tersenyum hangat. “jadi, Bibi
ngizinin Dinda buat kuliah?” tanya Dinda
Bibi mengangguk.
“Terima kasih, Bi!” serunya riang
sambil memeluk Bibinya.
karya : Adella Nuri M.