(0331) 6546436755
smadasit@yahoo.com

MENGUBAH TEMBAGA MENJADI EMAS

Oleh : administrator Kategori : ARTIKEL 28 October 2021

MENGUBAH TEMBAGA MENJADI EMAS


Bulan Juni merupakan musim pendaftaran siswa baru di Indonesia, yang bagi sebagian besar orang tua akan disibukkan dengan kebingungan dalam memilih sekolah. Memilih sekolah, dapat diibaratkan akan masuk ke sebuah restoran dan harus memilih menu utama apa yang ingin disantap. Ketika banyak pilihan menu yang ditawarkan, tentu saja akan memilih menu yang paling baik, paling sehat, dan paling nikmat.

Demikian juga halnya dalam memilih sekolah, sekolah yang tepat untuk anak dapat memberi perbedaan pada karier akademiknya. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan jadi bekal masa depan anak. Kabar baiknya, ada banyak pilihan institusi pendidikan yang bisa dipilih oleh orangtua. Namun kabar buruknya, kelimpahan pilihan sering membuat orangtua bingung bagaimana menentukan lingkungan belajar terbaik untuk anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengetahui apa yang harus dicari dari sebuah sekolah sehingga memastikan bahwa anak menerima pendidikan yang terbaik.

Pada musim ini, kebingungan tidak hanya melanda para orang tua siswa, sekolah pun berusaha menunjukkan keunggulannya untuk menarik hati para siswa dan orang tuanya. Keunggulan tersebut dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk dilirik masyarakat. Dapat dilihat dari animo masyarakat yang sangat tinggi untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah yang dipandang memiliki banyak keunggulan dengan harapan akan dihasilkan output yang unggul pula.

Pada dasarnya sekolah berfungsi untuk memberikan pelayanan, membimbing, mendidik dan mengajar siswa. Namun bila kita cermati secara mendalam, bagi sebagian orang fungsi sekolah sudah mengalami penyempitan menuju pada “pengajaran” saja, yang cenderung mengagungkan “angka”. Sekolah yang memiliki nilai UN tinggi, atau yang mampu menjuarai olimpiade pendidikan tingkat dunia biasanya kita anggap sebagai sekolah yang memiliki kualitas. Pemeringkatan seperti ini seolah menjadi satu-satunya indikator dalam mengukur mutu sebuah sekolah. Hanya melihat hasil akhir tanpa memperhatikan input dan proses yang terjadi selama masa pendidikan membuat banyak orang salah sasaran dalam menaksir kualitas pendidikan sebuah sekolah. Seharusnya cara pandang terhadap sebuah sekolah diletakkan dalam kerangka integral sejauh mana sebuah sekolah mampu menghadirkan sebuah lingkungan yang bersahabat bagi siswa.

Analisis kinerja atau performa sekolah berdasarkan input-output bisa digambarkan seperti ini. Jika input seorang siswa adalah 7 dan setelah melewati proses pendidikan selama tiga tahun, outputnya tetap 7, maka dapat dikatakan performa sekolah itu tidak ada. Namun jika input seorang siswa adalah 6 dan setelah melewati proses pendidikan, outputnya menjadi 9, maka dapat dikatakan performa sekolah itu baik sebab mampu mengembangkan potensi siswa. Ringkasnya proses pendidikan di sekolah tersebut “mampu mengubah tembaga menjadi emas”.

Tentu saja gambaran ini tidak hanya melulu tentang output berupa nilai, karena nilai saja tidak menunjukkan performa nyata sebuah sekolah mengingat input dari tiap sekolah berbeda.  Kita juga harus mengapresiasi kinerja individu dan lembaga, pertumbuhannya, usahanya, dan jatuh bangunnya dalam proses pendidikan.

Jika tidak diwaspadai, ke depan akan berpotensi untuk mengerdilkan peranan sekolah. Sekolah akan sekedar menjadi alat produksi, sekedar bekerja demi tuntutan pasar misalnya menghasilkan dokter, atau ahli IT. Sehingga akan melupakan bahwa tugas utama sekolah adalah mengembangkan karakter setiap individu.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah kembali menggaungkan pendidikan karakter sebagai faktor penting dalam menghadapi abad ke-21. Hal ini seolah membangunkan kita yang lebih banyak dininabobokan untuk “meraih angka”. Sementara jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang seringkali dipahami secara sempit.

Sebagai contoh untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah yang membuat kantin kejujuran. Siswa diajak untuk membeli dan membayar barang tersebut tanpa ada yang mengontrol. Dengan praktik ini diharapkan siswa kita akan menghayati nilai kejujuran dalam kehidupan mereka. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat kantin kejujuran malah bangkrut. Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa ada kesalahpahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan.

Kita tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekedar anak jujur membeli barang di toko, padahal di depan mata nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, vandalisme buku perpustakaan, dan lain sebagainya. Hal inilah yang harus diseriusi oleh pihak sekolah. Ini bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan bagaimana sebuah kultur sekolah yang menghargai kejujuran.

Melalui pendidikan karakter, diharapkan siswa akan knowing the good, feeling the good, dan acting the good, yang dalam jangka panjang akan meningkatkan kecerdasan emosionalnya. Banyak penelitian yang menjelaskan tentang peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan peningkatan kecerdasan emosional dan penurunan drastis pada perilaku negatif.

Pada tingkat sekolah, pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah, Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter (watak), dan citra sekolah di mata masyarakat luas. Akan terasa sangat wajar jika suatu saat masyarakat menilai performa sekolah berdasarkan perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian yang menggambarkan kecerdasan emosional warga sekolah. Sebab inilah sebenarnya bekal terpenting anak dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan akademis. Jadi, bijaklah dalam memilih tempat untuk membentuk “emas-emas” kita.


Penulis

NIKMATIL HASANAH

(Peserta Short Course of Digital Learning di Charles Darwin University, Australia, 2019)

administrator

Administrator

Postingan Terbaru