Bulan Juni merupakan musim
pendaftaran siswa baru di Indonesia, yang bagi sebagian besar orang tua akan
disibukkan dengan kebingungan dalam memilih sekolah. Memilih sekolah, dapat diibaratkan akan masuk ke sebuah restoran dan
harus memilih menu utama apa yang ingin disantap. Ketika banyak pilihan menu
yang ditawarkan, tentu saja akan memilih menu yang paling baik, paling sehat,
dan paling nikmat.
Demikian juga
halnya dalam memilih sekolah, sekolah
yang tepat untuk anak dapat memberi perbedaan pada karier akademiknya. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan jadi
bekal masa depan anak. Kabar
baiknya, ada banyak pilihan institusi pendidikan yang bisa dipilih oleh
orangtua. Namun kabar buruknya, kelimpahan pilihan sering membuat orangtua
bingung bagaimana menentukan lingkungan belajar terbaik untuk anak-anak. Oleh
karena itu, penting bagi orangtua untuk mengetahui apa yang harus dicari dari
sebuah sekolah sehingga memastikan bahwa anak menerima pendidikan yang terbaik.
Pada musim ini, kebingungan tidak hanya melanda para orang
tua siswa, sekolah pun berusaha menunjukkan keunggulannya untuk menarik hati
para siswa dan orang tuanya. Keunggulan tersebut dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk dilirik
masyarakat. Dapat dilihat dari animo masyarakat yang sangat tinggi untuk
mendaftarkan anaknya ke sekolah yang dipandang memiliki banyak keunggulan dengan
harapan akan dihasilkan output yang
unggul pula.
Pada dasarnya sekolah berfungsi untuk memberikan pelayanan, membimbing, mendidik dan mengajar
siswa. Namun bila kita cermati secara mendalam, bagi sebagian orang fungsi
sekolah sudah mengalami penyempitan menuju pada “pengajaran” saja, yang
cenderung mengagungkan “angka”. Sekolah yang memiliki nilai UN tinggi, atau
yang mampu menjuarai olimpiade pendidikan tingkat dunia biasanya kita anggap
sebagai sekolah yang memiliki kualitas. Pemeringkatan seperti ini seolah
menjadi satu-satunya indikator dalam mengukur mutu sebuah sekolah. Hanya
melihat hasil akhir tanpa memperhatikan input
dan proses yang terjadi selama masa pendidikan membuat banyak orang salah
sasaran dalam menaksir kualitas pendidikan sebuah sekolah. Seharusnya cara
pandang terhadap sebuah sekolah diletakkan dalam kerangka integral sejauh mana
sebuah sekolah mampu menghadirkan sebuah lingkungan yang bersahabat bagi siswa.
Analisis kinerja atau performa sekolah berdasarkan input-output bisa digambarkan seperti
ini. Jika input seorang siswa adalah
7 dan setelah melewati proses pendidikan selama tiga tahun, outputnya tetap 7, maka dapat dikatakan
performa sekolah itu tidak ada. Namun jika input
seorang siswa adalah 6 dan setelah melewati proses pendidikan, outputnya menjadi 9, maka dapat dikatakan
performa sekolah itu baik sebab mampu mengembangkan potensi siswa. Ringkasnya
proses pendidikan di sekolah tersebut “mampu mengubah tembaga menjadi emas”.
Tentu saja gambaran ini tidak hanya melulu tentang output berupa nilai, karena nilai saja
tidak menunjukkan performa nyata sebuah sekolah mengingat input dari tiap sekolah berbeda.
Kita juga harus mengapresiasi
kinerja individu dan lembaga, pertumbuhannya, usahanya, dan jatuh bangunnya
dalam proses pendidikan.
Jika tidak diwaspadai, ke depan akan berpotensi untuk
mengerdilkan peranan sekolah. Sekolah akan sekedar menjadi alat produksi,
sekedar bekerja demi tuntutan pasar misalnya menghasilkan dokter, atau ahli IT.
Sehingga akan melupakan bahwa tugas utama sekolah adalah mengembangkan karakter
setiap individu.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah kembali menggaungkan
pendidikan karakter sebagai faktor penting dalam menghadapi abad ke-21. Hal ini
seolah membangunkan kita yang lebih banyak dininabobokan untuk “meraih angka”.
Sementara jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan
sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang seringkali dipahami
secara sempit.
Sebagai contoh untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak
sekolah yang membuat kantin kejujuran. Siswa diajak untuk membeli dan membayar
barang tersebut tanpa ada yang mengontrol. Dengan praktik ini diharapkan siswa
kita akan menghayati nilai kejujuran dalam kehidupan mereka. Alih-alih mendidik
anak menjadi jujur, di banyak tempat kantin kejujuran malah bangkrut. Kegagalan
kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa ada kesalahpahaman tentang makna
kejujuran dalam konteks pendidikan.
Kita tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang
menggerogoti sendi pendidikan. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekedar anak
jujur membeli barang di toko, padahal di depan mata nilai kejujuran dalam
konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya
orang lain, vandalisme buku perpustakaan, dan lain sebagainya. Hal inilah yang
harus diseriusi oleh pihak sekolah. Ini bukan hanya berkaitan dengan kelemahan
individu per individu, melainkan bagaimana sebuah kultur sekolah yang
menghargai kejujuran.
Melalui pendidikan karakter, diharapkan siswa akan knowing the good, feeling the good, dan acting the good, yang dalam jangka
panjang akan meningkatkan kecerdasan emosionalnya. Banyak penelitian yang
menjelaskan tentang peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi akademik
pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas yang secara
komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan peningkatan
kecerdasan emosional dan penurunan drastis pada perilaku negatif.
Pada tingkat sekolah, pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah, Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter (watak), dan citra sekolah di mata masyarakat luas. Akan terasa sangat wajar jika suatu saat masyarakat menilai performa sekolah berdasarkan perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian yang menggambarkan kecerdasan emosional warga sekolah. Sebab inilah sebenarnya bekal terpenting anak dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan akademis. Jadi, bijaklah dalam memilih tempat untuk membentuk “emas-emas” kita.
Penulis
NIKMATIL HASANAH
(Peserta Short Course
of Digital Learning di Charles Darwin University, Australia, 2019)