(0331) 6546436755
smadasit@yahoo.com

LITERASI SEBAGAI TEMA PEMERSATU KURIKULUM

Oleh : administrator Kategori : ARTIKEL 28 October 2021

LITERASI SEBAGAI TEMA PEMERSATU KURIKULUM


Pandemi Covid-19 telah berhasil menggagalkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2020. Program yang banyak mendapat pro-kontra tersebut memang dianggap tidak layak untuk dijadikan penentu kelulusan siswa. Apalagi, untuk membuat pemeringkatan baik bagi siswa maupun sekolah. Di akhir tahun 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim resmi mengganti Ujian Nasional (UN) 2021 menjadi Asesmen Nasional (AN).  Sebagian besar praktisi pendidikan meyakini hal ini sebagai penanda perubahan evaluasi pendidikan di Indonesia. AN juga dianggap sebagai langkah memerdekakan siswa dari diskriminasi sistemik dalam dunia pendidikan yang berdampak pada kualitas layanan pembelajaran yang mereka terima.

Perubahan mendasar pada AN yaitu tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil. Salah satu aspek yang diujikan dalam AN adalah Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kompetensi Minimun adalah kompetensi dasar yang dibutuhkan murid untuk bisa belajar, apapun materinya dan apapun mata pelajarannya. Materi AKM yang diujikan ada dua jenis yaitu untuk mengukur literasi membaca dan numerasi sebagai hasil belajar kognitif. 

Literasi membaca yang dimaksudkan di sini bukan sekedar kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut. Numerasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. Namun, perlu ditekankan bahwa literasi dan numerasi bukan tentang mata pelajaran bahasa atau matematika, melainkan kemampuan murid agar dapat menggunakan konsep literasi ini untuk menganalisa sebuah materi.

Fokus pada kemampuan literasi membaca dan numerasi dalam AN tidak kemudian mengecilkan arti dari pentingnya mata pelajaran. Karena justru dengan literasi membaca dan numerasi ini membantu murid-murid untuk mempelajari bidang ilmu lain, terutama untuk berpikir dan mencerna informasi dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk angka atau kuantitatif.

Bila dilakukan kilas balik pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah dengan harapan untuk menumbuhkembangkan budi pekerti siswa dengan meningkatkan minat dan kemampuan membaca dan menulis.  Empat tahun sudah berlalu, seharusnya sudah bisa dilihat sejauh mana gerakan ini memberi dampak pada kemampuan membaca dan menulis siswa. Ternyata hasil PISA selalu menunjukkan bahwa peringkat dari indeks literasi pelajar Indonesia dalam hal kemampuan membaca, matematika, serta sains masih berada jauh di peringkat bawah.

Memang masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa rendahnya peringkat Indonesia dalam hasil survei PISA tersebut merupakan kegagalan program Gerakan Literasi. Namun, hal ini merupakan sebuah peringatan keras bagi dunia pendidikan Indonesia bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains cukup mengkhawatirkan. Banyak hal yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Perlu kerja keras dari berbagai elemen untuk mencari bentuk yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah berjalan 4 tahun nampaknya masih sekadar menuntaskan kewajiban. Pembiasaan membaca 15 menit di awal pembelajaran terkesan dipaksakan. Siswa hanya membaca apa saja yang bisa dia temukan atau bawa. Program yang seharusnya terintegrasi dengan kurikulum ini, masih belum memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sekolah masih belum menentukan target yang ingin dicapai setelah melaksanakan program literasi di sekolah. Dengan tidak adanya target, maka ketercapaian program juga tidak bisa diukur. Akibatnya, sekolah tidak mengetahui dengan pasti sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program ini. Pada akhirnya, Program Literasi Sekolah hanya berjalan di tempat.

Kurikulum merupakan jantung pendidikan (heart of education). Kurikulum memberikan ciri khas dan karakter dalam sebuah lembaga pendidikan, disesuaikan dengan tantangan zaman  dan kebutuhan siswa di masa depan. Kurikulum yang telah disusun merupakan pedoman sekolah, salah satunya dalam melaksanakan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran bisa diartikan secara sempit dalam artian belajar materi di ruang kelas, atau belajar secara luas, dimana para siswa dapat belajar nilai-nilai kehidupan dari lingkungan sekolah.

Aroma literasi harus bisa tercium mulai dari gerbang sekolah, seperti pembiasaan membaca doa, membaca surat-surat pendek dalam Alquran, membaca buku non teks, pojok-pojok baca di semua tempat, dan sebagainya. Pada kegiatan pembelajaran, aroma literasi semakin menguat saat guru melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan komunikatif dengan siswa. Guru membangun hubungan yang baik, melatih keterampilan pemecahan masalah pada siswa, memotivasi siswa untuk mengkaji berbagai literatur, merangsang kemampuan berpikir kritis siswa melalui penerapan model pembelajaran kolaboratif, hingga siswa mampu mengambil kesimpulan atau makna dari apa materi yang telah dipelajari.

Integrasi literasi bukan hanya sekedar kata-kata indah dalam dokumen kurikulum, tetapi perlu keteladanan dari kepala sekolah, guru, dan staf sekolah, sehingga siswa dapat melihat dan merasakan lingkungan sekolah sebagai "laboratorium literasi". Integrasi program literasi dalam kurikulum pun pada suatu waktu harus dievaluasi. Pelaksanaan AN ini merupakan salah satu bentuk evaluasi yang positif  yang hasilnya dapat digunakan untuk meninjau atau mengkaji keterlaksanaan program literasi. Sehingga di masa depan, semua sekolah di Indonesia mampu melahirkan generasi-generasi yang literat.

administrator

Administrator

Postingan Terbaru