Pandemi Covid-19 telah berhasil menggagalkan pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) pada tahun 2020. Program yang banyak mendapat pro-kontra
tersebut memang dianggap tidak layak untuk
dijadikan penentu kelulusan siswa. Apalagi, untuk membuat pemeringkatan baik
bagi siswa maupun sekolah. Di akhir tahun 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim resmi mengganti Ujian Nasional (UN) 2021 menjadi Asesmen Nasional (AN). Sebagian besar
praktisi pendidikan meyakini hal ini sebagai penanda perubahan evaluasi
pendidikan di Indonesia. AN juga dianggap sebagai langkah memerdekakan siswa
dari diskriminasi sistemik dalam dunia pendidikan yang berdampak pada kualitas
layanan pembelajaran yang mereka terima.
Perubahan mendasar pada AN yaitu tidak lagi mengevaluasi
capaian peserta didik secara individu, tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem
pendidikan berupa input, proses, dan hasil. Salah satu aspek yang diujikan
dalam AN adalah Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kompetensi Minimun
adalah kompetensi dasar yang dibutuhkan murid untuk bisa belajar, apapun
materinya dan apapun mata pelajarannya. Materi AKM yang diujikan ada dua jenis yaitu
untuk mengukur
literasi membaca dan numerasi sebagai hasil belajar kognitif.
Literasi membaca yang dimaksudkan di
sini bukan sekedar kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menganalisis suatu
bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan
tersebut. Numerasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. Namun,
perlu ditekankan bahwa literasi dan numerasi bukan tentang mata pelajaran
bahasa atau matematika, melainkan kemampuan murid agar dapat menggunakan konsep
literasi ini untuk menganalisa sebuah materi.
Fokus pada kemampuan literasi membaca dan numerasi
dalam AN tidak kemudian mengecilkan arti dari pentingnya mata pelajaran. Karena
justru dengan literasi membaca dan numerasi ini membantu murid-murid untuk
mempelajari bidang ilmu lain, terutama untuk berpikir dan mencerna informasi
dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk angka atau kuantitatif.
Bila dilakukan kilas balik pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah dengan harapan untuk
menumbuhkembangkan budi pekerti siswa dengan meningkatkan minat dan kemampuan
membaca dan menulis. Empat tahun sudah berlalu, seharusnya sudah bisa
dilihat sejauh mana gerakan ini memberi dampak pada kemampuan membaca dan menulis
siswa. Ternyata hasil PISA selalu menunjukkan bahwa peringkat dari indeks
literasi pelajar Indonesia dalam hal kemampuan membaca, matematika, serta sains
masih berada jauh di peringkat bawah.
Memang masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa rendahnya peringkat
Indonesia dalam hasil survei PISA tersebut merupakan kegagalan program Gerakan
Literasi. Namun, hal ini merupakan sebuah peringatan keras bagi dunia
pendidikan Indonesia bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika,
dan sains cukup mengkhawatirkan. Banyak hal yang harus dievaluasi dan
diperbaiki. Perlu kerja keras dari berbagai elemen untuk mencari bentuk yang
paling tepat untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa.
Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah berjalan 4 tahun
nampaknya masih sekadar menuntaskan kewajiban. Pembiasaan membaca 15 menit di
awal pembelajaran terkesan dipaksakan. Siswa hanya membaca apa saja yang bisa
dia temukan atau bawa. Program yang seharusnya terintegrasi dengan
kurikulum ini, masih belum memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sekolah masih
belum menentukan target yang ingin dicapai setelah melaksanakan program
literasi di sekolah. Dengan tidak adanya target, maka ketercapaian program
juga tidak bisa diukur. Akibatnya, sekolah tidak mengetahui dengan pasti sejauh
mana keberhasilan pelaksanaan program ini. Pada akhirnya, Program Literasi
Sekolah hanya berjalan di tempat.
Kurikulum
merupakan jantung pendidikan (heart of education). Kurikulum
memberikan ciri khas dan karakter dalam sebuah lembaga pendidikan, disesuaikan
dengan tantangan zaman dan kebutuhan siswa di masa depan. Kurikulum yang
telah disusun merupakan pedoman sekolah, salah satunya dalam melaksanakan
pembelajaran. Kegiatan pembelajaran bisa diartikan secara sempit dalam artian
belajar materi di ruang kelas, atau belajar secara luas, dimana para siswa
dapat belajar nilai-nilai kehidupan dari lingkungan sekolah.
Aroma
literasi harus bisa tercium mulai dari gerbang sekolah, seperti pembiasaan
membaca doa, membaca surat-surat pendek dalam Alquran, membaca buku non teks, pojok-pojok
baca di semua tempat, dan sebagainya. Pada kegiatan pembelajaran, aroma
literasi semakin menguat saat guru melaksanakan pembelajaran yang interaktif
dan komunikatif dengan siswa. Guru membangun hubungan yang baik, melatih
keterampilan pemecahan masalah pada siswa, memotivasi siswa untuk mengkaji
berbagai literatur, merangsang kemampuan berpikir kritis siswa melalui
penerapan model pembelajaran kolaboratif, hingga siswa mampu mengambil
kesimpulan atau makna dari apa materi yang telah dipelajari.
Integrasi
literasi bukan hanya sekedar kata-kata indah dalam dokumen kurikulum, tetapi
perlu keteladanan dari kepala sekolah, guru, dan staf sekolah, sehingga siswa
dapat melihat dan merasakan lingkungan sekolah sebagai "laboratorium literasi".
Integrasi program literasi dalam kurikulum pun pada suatu waktu harus dievaluasi.
Pelaksanaan AN ini merupakan salah satu bentuk evaluasi yang positif yang hasilnya dapat digunakan untuk meninjau
atau mengkaji keterlaksanaan program literasi. Sehingga di masa depan, semua
sekolah di Indonesia mampu melahirkan generasi-generasi yang literat.