Kisah dimulai saat seorang pengacara bernama Anggara
Dwi Satria bertemu dan mengenal seorang remaja berusia 15 tahun, panggil saja
Rafael. Awal pertemuan mereka tidak bisa dikatakan begitu menyenangkan, jangan
berfikir mereka akan berjabat tangan dan saling berpelukan, karena kenyataannya
sungguh terduga.
Masih teringat jelas diingatan Anggara tentang
pertemuan pertamanya dengan Rafael. Saat itu tepatnya hari Kamis saat perayaan
10 November, Anggara mendapatkan kasus yang mampu membuatnya mengernyitkan
kening. Seorang ibu ibu berusia setengah abad menuntut seorang pemuda yang
bahkan masih pelajar. Awalnya Anggara mengacuhkannya, namun..semakin Anggara
mendengar desas desus tentang lawannya, dia semakin penasaran. Siapakah pemuda
itu?
Rasa penasaran Anggara membawanya menelusuri siapakah
pemuda itu, membuatnya bertanya bahkan rela berjalan masuk kepelosok hanya
untuk mencari siapakah pemuda itu? Dan apa alasannya?
Akhirnya pertanyaan penuh teka teki terjawab, ketika
pemuda yang dia cari justru yang menjadi pelaku pencurian dompetnya. Dan
melalui insiden itu Anggara menemukan fakta, fakta menyakitkan yang membuatnya
malu pada dirinya sendiri. Disana, disebuah rumah yang terlihat tidak terawat
didalamnya. Kakinya melangkah masuk, matanya berkaca kaca menyaksikan bagaimana
pemuda itu, Rafael.. duduk bersila menyaksikan adik dan ibunya makan bersama.
Masih teringat jelas kalimat yang Rafael katakan ketika mereka berbicara empat
mata.
“Aku
memang pencuri, tapi? Apakah gedung yang selalu mencuri uang kami tidak
dikatakan pencuri? “, ucapnya dengan kedua mata yang menyorot penuh kebencian.
Gedung yang dimaksud olehnya adalah sekolah,
tempatnya menimba ilmu. Rafael seorang anak dari penjual nasi keliling.
Singkatnya, dia tidak diizinkan masuk sekolah bahkan mengikuti pembelajaran
jika belum melunasi SPP, karena tekanan itu ibunya sampai harus kerja banting
tukang hanya untuk melunasinya. Sudah mereka meminta keringanan, namun apa?
Telinga mereka layaknya di tutupi oleh tumpukan debu dosa. Tak mendegar apa dan
bagaimana kesulitan yang mereka alami. Ya memang rumah mereka layak huni, namun
tahukah mereka? Rumah itu adalah warisan bukan hasil jerih payah mereka. Mereka
tak melihat dalamnya, mata itu selalu melihat luar.
Dan ya, Rafael terpaksa mencuri. Demi makan
keluarganya, dia tetap sekolah namun mata mata penuh hinaan selalu ada dimana
mana.
Hari itu tiba, hari dimana Rafael berdiri tegak
dimeja sidang. Melawan hakim dengan kedua matanya yang menyorot tajam.
“
Apa gunanya mata jika hanya melirik keindahan? Apa gunanya mulut jika hanya
berucap naif?”, ucapnya. Rafael berdiri membelakangi Anggara, menantang hakim
tanpa rasa takut. Karena dia tau, ini saatnya dia bersuara.
BRAKK!!
Meja di pukul tanpa rasa takut olehnya seraya
berkata, “ Anda kaya! Guru guru yang anda katakan mendidik, mereka kaya! Tau
apa mereka tentang masalah saya!”
“
Apa mereka tau? Bagaimana susahnya saya bersekolah dengan ekonomi yang bahkan
tidak cukup hanya untuk sekedar makan. Kami hanya meminta keringanan, meminta
biaya yang masih sanggup kami bayar. Namun apa? Mereka malah menghina kami...”
“Saya
sekolah untuk memperbaiki masa depan, jadi tolong...imipian saya hanya untuk
melihat ibu saya tersenyum..”
Disanalah Anggara sadar, kekayaan tak dapat dilihat
dari besar kecilnya rumah. Kondisi ekonomi yang sebenarnya dilihat dari
bagaimana keringat mereka mengalir. Sejak kejadian itu, Anggara memutuskan
resign dari dunia hukum dan memilih terjun keduni pendidikan. Menjadi guru dan
membiayai semua kebutuhan mereka yang tidak mampu. Dan ya, rasa bangga Anggara
pada Rafael begitu besar, dia berani menyuarakan apa yang menjadi
kekurangannya. Dia berani menyerukan apa yang menjadi imipian mudanya, setiap
impian berbeda namun tekadlah yang menuntun ke jalurnya.
“Miskinku
seperti ini, lantas bagaimana miskin mereka jika masih menikmati dinginnya
berkendara.”
Seperti palu yang berseru nyaring menyerukan keadilan, maka ini paluku..menyerukan hati masyarakat seperti kami menantang keadilan.