(0331) 6546436755
smadasit@yahoo.com

KETUKAN PALU

Oleh : administrator Kategori : CERPEN 28 October 2021

KETUKAN PALU


Kisah dimulai saat seorang pengacara bernama Anggara Dwi Satria bertemu dan mengenal seorang remaja berusia 15 tahun, panggil saja Rafael. Awal pertemuan mereka tidak bisa dikatakan begitu menyenangkan, jangan berfikir mereka akan berjabat tangan dan saling berpelukan, karena kenyataannya sungguh terduga.

Masih teringat jelas diingatan Anggara tentang pertemuan pertamanya dengan Rafael. Saat itu tepatnya hari Kamis saat perayaan 10 November, Anggara mendapatkan kasus yang mampu membuatnya mengernyitkan kening. Seorang ibu ibu berusia setengah abad menuntut seorang pemuda yang bahkan masih pelajar. Awalnya Anggara mengacuhkannya, namun..semakin Anggara mendengar desas desus tentang lawannya, dia semakin penasaran. Siapakah pemuda itu?

Rasa penasaran Anggara membawanya menelusuri siapakah pemuda itu, membuatnya bertanya bahkan rela berjalan masuk kepelosok hanya untuk mencari siapakah pemuda itu? Dan apa alasannya?

Akhirnya pertanyaan penuh teka teki terjawab, ketika pemuda yang dia cari justru yang menjadi pelaku pencurian dompetnya. Dan melalui insiden itu Anggara menemukan fakta, fakta menyakitkan yang membuatnya malu pada dirinya sendiri. Disana, disebuah rumah yang terlihat tidak terawat didalamnya. Kakinya melangkah masuk, matanya berkaca kaca menyaksikan bagaimana pemuda itu, Rafael.. duduk bersila menyaksikan adik dan ibunya makan bersama. Masih teringat jelas kalimat yang Rafael katakan ketika mereka berbicara empat mata.

“Aku memang pencuri, tapi? Apakah gedung yang selalu mencuri uang kami tidak dikatakan pencuri? “, ucapnya dengan kedua mata yang menyorot penuh kebencian.

Gedung yang dimaksud olehnya adalah sekolah, tempatnya menimba ilmu. Rafael seorang anak dari penjual nasi keliling. Singkatnya, dia tidak diizinkan masuk sekolah bahkan mengikuti pembelajaran jika belum melunasi SPP, karena tekanan itu ibunya sampai harus kerja banting tukang hanya untuk melunasinya. Sudah mereka meminta keringanan, namun apa? Telinga mereka layaknya di tutupi oleh tumpukan debu dosa. Tak mendegar apa dan bagaimana kesulitan yang mereka alami. Ya memang rumah mereka layak huni, namun tahukah mereka? Rumah itu adalah warisan bukan hasil jerih payah mereka. Mereka tak melihat dalamnya, mata itu selalu melihat luar.

Dan ya, Rafael terpaksa mencuri. Demi makan keluarganya, dia tetap sekolah namun mata mata penuh hinaan selalu ada dimana mana.

Hari itu tiba, hari dimana Rafael berdiri tegak dimeja sidang. Melawan hakim dengan kedua matanya yang menyorot tajam.

“ Apa gunanya mata jika hanya melirik keindahan? Apa gunanya mulut jika hanya berucap naif?”, ucapnya. Rafael berdiri membelakangi Anggara, menantang hakim tanpa rasa takut. Karena dia tau, ini saatnya dia bersuara.

BRAKK!!

Meja di pukul tanpa rasa takut olehnya seraya berkata, “ Anda kaya! Guru guru yang anda katakan mendidik, mereka kaya! Tau apa mereka tentang masalah saya!”

“ Apa mereka tau? Bagaimana susahnya saya bersekolah dengan ekonomi yang bahkan tidak cukup hanya untuk sekedar makan. Kami hanya meminta keringanan, meminta biaya yang masih sanggup kami bayar. Namun apa? Mereka malah menghina kami...”

“Saya sekolah untuk memperbaiki masa depan, jadi tolong...imipian saya hanya untuk melihat ibu saya tersenyum..”

Disanalah Anggara sadar, kekayaan tak dapat dilihat dari besar kecilnya rumah. Kondisi ekonomi yang sebenarnya dilihat dari bagaimana keringat mereka mengalir. Sejak kejadian itu, Anggara memutuskan resign dari dunia hukum dan memilih terjun keduni pendidikan. Menjadi guru dan membiayai semua kebutuhan mereka yang tidak mampu. Dan ya, rasa bangga Anggara pada Rafael begitu besar, dia berani menyuarakan apa yang menjadi kekurangannya. Dia berani menyerukan apa yang menjadi imipian mudanya, setiap impian berbeda namun tekadlah yang menuntun ke jalurnya.

“Miskinku seperti ini, lantas bagaimana miskin mereka jika masih menikmati dinginnya berkendara.”

Seperti palu yang berseru nyaring menyerukan keadilan, maka ini paluku..menyerukan hati masyarakat seperti kami menantang keadilan.


Karya : Chiquita Clairina Kyrevi XI MIPA 6

administrator

Administrator

Postingan Terbaru