Selama bulan Maret 2019, saya diberi
kesempatan oleh P4TK IPA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menimba
ilmu mengenai digital learning di Australia,
tepatnya di Universitas Charles Darwin bersama 15 orang guru IPA dari seluruh
Indonesia. Selain mendapatkan perspektif baru tentang perkembangan pendidikan
dan pembelajaran, banyak hal yang saya lihat dan pelajari ketika berada di Darwin,
Northern Territory. Pendidikan karakter adalah salah satu fokus menarik yang
saya amati.
Aktivitas pertama yang kami lakukan saat
tiba di Darwin adalah berbelanja kebutuhan harian di supermarket. Setelah
selesai mengambil barang, kami mendorong troly yang penuh barang belanjaan
menuju kasir. Ternyata hampir seluruh supermarket
besar di Australia sudah menggunakan mesin kasir mandiri. Mesin ini dilengkapi
sensor barkode barang belanjaan, tempat menggesek kartu pembayaran non tunai,
tempat memasukkan uang untuk pembayaran tunai, serta tempat mengeluarkan uang
kembalian.
Adanya mesin kasir mandiri ini memudahkan pelanggan dalam proses
pembayaran. Transaksi pembayaran berlangsung lebih cepat karena jumlah mesin
yang disediakan cukup banyak. Pada proses ini kejujuran konsumen teruji karena kesempatan
untuk melakukan kecurangan terbuka lebar. Mereka dapat saja memasukkan beberapa
barang langsung ke dalam kantung belanjaan
tanpa melewati sensor barkode. Jika dianalisa, apabila banyak konsumen
yang melakukan aksi tersebut, bisa
dipastikan supermarket tersebut akan gulung tikar dalam waktu singkat. Namun
kenyataannya selama lebih dari 10 tahun menggunakan mesin kasir mandiri,
supermarket itu tetap berdiri kokoh. Artinya kejujuran sudah menjadi budaya di
negeri kanguru ini.
Kemudian saya flashback sejenak pada fenomena 10 tahun yang lalu. Ketika
pemerintah melalui Kejaksaan Negeri memunculkan ide brilian dengan mendirikan
Kantin Kejujuran pada 1000 sekolah jenjang SD, SMP,dan SMA. Kelahirannya pada saat itu sangat
memberikan ekspektasi yang luar biasa, karena persoalan kejujuran sudah berada
pada titik nadir yang sangat krusial bagi bangsa ini. Program ini diharapkan
dapat memupuk sifat jujur dan mengembangkan budaya malu kepada diri siswa dan
lingkungan pelanggan Kantin Kejujuran. Pemerintah percaya bahwa pendidikan
kejujuran itu harus melalui proses, yakni dilatihkan sejak dini.
Makanan dan
minuman dipajang dan diberi label harga, kemudian tersedia kotak uang untuk
menampung pembayaran dari pembeli. Bila ada kembalian, pembeli mengambil dan
menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut. Di Kantin
Kejujuran, kesadaran kejujuran pembeli sangat dituntut ketika berbelanja dengan
membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi
oleh pegawai kantin.
Namun apa
yang terjadi pada ribuan kantin kejujuran yang sudah terbentuk di sekolah?
Gegap gempitanya mulai agak sayup-sayup bahkan boleh dibilang saat ini nyaris
tak terdengar. Apa pasalnya? Ternyata, menurut berbagai informasi yang
diperoleh kini sekitar 80 persen Kantin Kejujuran mengalami kebangkrutan karena
para pembeli tak jujur. Kebangkrutan Kantin Kejujuran itu bisa menjadi pertanda
serius akan eksistensi kejujuran warga bangsa ini. Betapa tidak, ide cemerlang
yang dipelopori dari lingkungan pendidikan dianggap tidak berhasil, bagaimana
jika Kantin Kejujuran ini didirikan di luar dunia pendidikan?
Mati suri
dan gulung tikarnya sebagian besar Kantin Kejujuran semoga bukan pertanda
negeri ini makin terpuruk dalam hal pendidikan moral. Saat
ini nilai indeks korupsi kita menunjukkan bahwa kita tak sejujur negara maju
seperti Korea Selatan, Singapura, Australia, dan lain-lain. Semoga saja ke depan, ribuan kantin kejujuran
yang telah terbentuk dapat aktif kembali atau bahkan akan berkembang jumlahnya,
sehingga diharapkan akan meningkatkan prestasi kejujuran bangsa
ini. Tentu saja hal ini membutuhkan komitmen bersama antara orang tua,
masyarakat, sekolah, dan pemerintah. Komitmen yang kuat pada pendidikan moral akan
dapat membentuk karakter yang kuat. Mungkin inilah yang akan menguatkan negeri
ini untuk sejajar dengan negara-negara maju. Selalu ada harapan melihat pelangi
setelah hujan deras.